RONGGOWARSITO
BIOGRAFI
INTELEKTUAL RANGGAWARSITA
A.
Riwayat Hidup Ranggawarsita
Raden Ngabehi Ranggawarsita
terlahir dengan nama kecil Bagus Burham adalah putra dari R.Ng. Pajangsworo dan
Nyai Ajeng Ranggawarsita. Sumber untuk
mengenal kehidupan Ranggawarsita yang didapati.[2] Beliau
lahir sebenarnya pada 14 Maret tahun 1802 bertepatan dengan tahun meninggalnya
kakek buyutnya yaitu Yasadipura I dan wafat pada tahun 1873 di desa Palar
dimana dia dulu dibesarkan.[3]
Ranggawarsita III
memiliki nama asli Bagus Burham, dia tumbuh dan besar dari keluarga yang akrab
dengan dunia sastra dan tulisan, sesuatu yang dianggap langka pada kala itu.
Ayahnya Panjangsworo atau Ranggawarsita II yang menjadi juru tulis kerajaan. Sedangan kakeknya, Sastronagoro atau
Ranggawarsita I adalah pujangga kerajaan. Sedangkan kakek buyutnya Yosodipuro I
adalah seorang pujangga besar. Namanya tercatat dalam tinta emas dalam sejarah
kesusastraan Jawa dan bukan hanya di Surakarta, ia adalah penulis yang banyak
menghasilkan karya, baik orisinal maupun adaptasi terhadap tulisan tulisan kuno
dari khazanah sastra yang ada di tanah Jawa maupun dari manca negara.[4]
Ranggawarsita III
inilah yang kemudian terkenal dengan sebutan pujangga Raden Ngabehi
Ranggawarsita yang sebenarnya merupakan nama pemberian raja, sesuai dengan
jabatannya sebagai Kliwon Carik di Istana Surakarta. Tokoh Ranggawarsita
dikeramatkan oleh angkatan sesudahnya, dengan berbagai macam cerita yang dihubungkan
dengan kehidupannya. Sarjana-sarjana Belanda yang cukup lama bergaul dengan
Ranggawarsita, salah satu diantaranya C.F. Winter, tidak ada yang memberi
komentar tentang kehidupannya. Boleh dikatakan hanya ada dua sumber yang bisa
dipergunakan untuk mengenal kehidupan Ranggawarsita. Pertama, yang disusun oleh
para pengagumnya yang masih berbentuk cerita yang bersifat deskripsi dan belum
merupakan analisis yang bersifat ilmiah. Untuk yang kedua merupakan sumber tulisan
dari bermacam-macam tempat.
Sumber itu ialah, Pertama,
hasil survei Padmawarsito yang masih berbentuk aksara carik, atau
tulisan tangan. Karya ini ditulis dalam huruf Latin dengan tulisan yang bagus
setebal 76 halaman folio. Candrasengkala (ciri tahun bulan) yang
terdapat pada penutup karya ini, berbunyi: Ngesthi katon bujangganing ratu,
yang berarti disusun pada tahun 1838 Jawa, atau 1908 Masehi. Tepatnya manuskrip
ini disusun 35 tahun sesudah wafatnya Ranggawarsita. Buku ini bisa ditemukan
pada Perpustakaan Musium Nasional Jakarta, berkode: Jav. Hs,B.G. No: 614[5].
Kedua,
Serat Babad Lelampahanipun Raden Ngabehi Ranggawarsita, disusun oleh:
Padmawidagda dan Honggopradoto, keduanya cucu dan buyut Ranggawarsita. Buku ini
telah diterbitkan dalam huruf cetak, berbahasa Jawa krama (halus),
menjadi empat jilid, dan masing-masing setebal 135 halaman. Penerbitnya N.V.
Budiutama Surakarta pada tahun 1931 Masehi, yakni lebih kurang 58 tahun setelah
wafatnya Ranggawarsita.[6]
Riwayat keseniman Bagus
Burham masih bisa dilacak lebih jauh lagi. Dari pihak ibu ia masih keturunan
Sujonopuro atau yang lebih dikenal sebagai Pangeran Karanggayam, pujangga kerajaan
Pajang. Ia adalah seorang sastrawan besar penulis buku yang terkenal sampai
kini, yaitu Serat Niti Suri sebuah buku yang berisi ajaran tentang etika
kehidupan.[7]
Sehingga sama sekali
bukan hal yang aneh jika Bagus Burham tertarik menekuni dunia sastra. Apalagi
pada saat itu, yaitu menjelang awal abad XI adalah masa puncak salah satu genre
dalam sejarah kesusastraan Jawa yang dikenal dengan tradisi Islam Kejawen.[8]
Adapun silsilah Raden
Ngabehi Ranggawarsita yang merupakan masih dalam keturunan Majapahit. Hal ini
diterangkan sebagai berikut:






Pangeran
Wiramenggala I
![]() |


Pangeran
Adipati Danupaya
![]() |




Ranggawarsita.[9]
Menurut serat Candra
Kantha, karya Raden Ngabehi Candrapadata R.Ng. Ranggawarsita juga merupakan
keturunan dari Kerajaan Demak. Yakni, antara lain disebutkan sebagai berikut:



Tumenggung
Sujanapura (Pujangga Keraton Pajang)
![]() |
Raden
Tumenggung Tirtawiguna
![]() |


Raden
Ngabehi Yasadipura II
![]() |
Tumenggung
Sastranegara
![]() |
Bagus
Burham (Raden Ngabehi Ranggawarsita III).[10]
Adapun sumber menurut
R.T. Mulyanto dalam buku Biografi Ranggawarsita (Departemen P & K: Jakarta,
1990),36-37) yang menyebutkan silsilah Ranggawarsita dari jalur ayah (silsilah
Pengging) menurut sumber Siswawarsita, ahli waris dan R. Tanaya, pengarang
Surakarta serta hasil penelitian IKIP Surakarta adalah sebagai berikut:

Pangeran
Benawa (Sultan Prabuwijaya),Pajang
![]() |










Bagus
Burham (R.Ng. Ranggawarsita III).[11]
Masih menurut R.T.
Mulyanto yang mengutip sumber dari Siswawarsita dan Komite Ranggawarsita, bahwa
garis keturunan Ranggawarsita dari ibu yang disebut dengan silsilah Palar
disebutkan:










Bagus
Burham (R.Ng.Ranggawarsita III).[12]
Dari silsilah keturunan
tersebut, Bagus Burham merupakan keturunan kerajaan yang memiliki pengaruh
besar di masing-masing tempat. Sehingga bertolak dari leluhurnya, Ranggawarsita
memiliki tanggung jawab yang besar pula. Tugas besar inilah yang mengantarkan
nama beliau menjadi seorang pujangga yang luar biasa di tanah Jawa ini. Hingga
beliau di anggap sebagai pujangga penutup di tanah kelahirannya, Jawa.
B.
Latar Belakang Pendidikan
Ranggawarsita (Bagus
Burham) dilahirkan pada masa pemerintahan Paku Buwono IV. Pada masa itu yang
menjabat sebagai pujangga istana adalah Yasadipura I, kakek buyutnya. Waktu
ibukota Mataram dipindahkan dari Kartasura ke Surkarta (1744), Yasadipura turut
pindah dan tinggal di kampong Kedhung Kol. Kampung yang terletak di distrik Pasar
Kliwon (sebelah timur benteng istana Surkarta) yang kemudian disebut dengan kampung
Yasadipuran. Hal ini Karena telah menjadi tempat kediaman pujangga Yasadipura I
dan putranya Yasadipura II dan Ranggawarsita.[13]
Yasadipura II adalah
kakek sekaligus guru pengasuh Bagus Burham. Semenjak kanak-kanak Bagus Burham
telah dititipkan kakeknya, untuk dididik dalam kesusastraan, karena usia ayahnya
lebih pendek (wafat pada waktu Bagus Burham baru berusia 17 tahun).[14]
Kesehariannya Bagus
Burham mempunyai seorang pengasuh, bernama Tanujoyo. Ia seorang pegawai
kakeknya yang diberi tugas khusus untuk mengawasi dan menjaga Bagus Burham.
Pada masa itu masih berlaku tradisi dimana seorang anak memiliki seorang
pengasuh yang secara khusus mengawasi dan menjaga. Ia ibarat kepanjangan tangan
orangtua si anak.
Pengasuh itu berfungsi
sekaligus sebagai kawan bermain. Mereka
akan menuruti segala permintaan, dan tidak berhak mengatur si anak. Namun dalam
kondisi tertentu, demi alasan-alasan keselamatan ia dapat saja memaksa si anak
untuk melakukan atau tidak melakukan hal-hal tertentu. Karena ia
bertanggung jawab penuh terhadap anak
asuhnya.[15]
Tanujoyo merupakan
figur tipikal para pengasuh di Jawa. Ia orang yang mudah bergaul dan banyak
cerita, baik sungguh maupun rekaan. Ia juga memiliki beragam keterampilan,
mulai permainan yang bermacam-macam, urusan memasak hingga keterampilan
keprajuritan.[16]
Setelah mencapai usia
dua belas tahun, kakeknya mengirimnya berguru ke Pesantren Gerbang Tinatar,
yang ada di Tegalsari, Ponorogo. Pesantren tersebut diasuh oleh Kiai Imam Kasan
Besari, seorang ulama yang dikenal keluasan ilmunya. Kasan Besari adalah
menantu Paku Buwono IV, dan pernah menuntut ilmu bersama Satronagoro, kakek
Bagus Burham.[17]
Karena pemiliknya adalah menantu raja, maka Gerbang Tinatar banyak memiliki santri
anak-anak bangsawan.
Semenjak Bagus Burham
mengaji di pesantren Tegalsari ini, cerita tentang Wahyu Kepujanggaan
telah dihubungkan dengannya. Dalam Serat Babad Lelampahanipun Raden
Ngebehi Ranggawarsita susunan Padmawidagda dan Honggopradoto, wahyu
kepujanggan dihubungkan dengan makan ikan wader yang dikatakan ajaib.[18]
Diceritakan bahwa Bagus Burham adalah pemuda yang nakal, enggan mengaji dan
tidak mau belajar, bahkan suka berjudi, hidup semau hatinya. Akhirnya Bagus
Burham dimarahi dan dihardik oleh Kiai Imam Kasan Besari.
Hukuman secara terbuka
ini nampaknya menimbulkan bekas tersendiri bagi Burham. Ia seakan tersinggung
oleh perlakuan yang dia terima di hadapan kawan-kawannya.[19] Lantaran
merasa malu kemudian Bagus sadar, dan ia merasa tertantang untuk menunjukkan
bahwa ia bisa.
Dalam Babad Ranggawarsita,
dia dikisahkan bahwa Bagus Burham melakukan tirakatan di Kedung Watu,
sebuah sumber air yang terletak tidak jauh dari pesantren Kiai Kasan Besari.[20]
Konon Burham berjaga semalaman di atas sebatang bambu yang ia pasang di atas
air. Sehingga ketika mengantuk ia akan tercebur ke dalam air. Hal itu dilakukan
selama empat puluh hari. Dan selama itu pula menurut cerita, ia hanya makan
satu buah pisang setiap harinya.
Pada malam terakhir,
Tanujaya menanak nasi untuk berbuka bagi Burham. Tiba-tiba Tanujaya terkejut
melihat benda bersinar sebesar bola (andaru) masuk dalam periuk.[21] Sesudah
nasinya masak, ternyata di dalamnya terdapat ikan wader yang sudah
masak. Ikan itu kemudian dimakan oleh Burham, sedangkan kepala dan ekor disisakan
untuk Tanujoyo. Diyakini, sinar yang berubah wujud menjadi ikan itulah,
merupakan anugerah dari Tuhan kepada Bagus Burham yang nantinya sekaligus
sebagai tanda ia akan menjadi orang besar. Sejalan dengan itu, ia juga mulai
rajin mempelajari ilmu-ilmu yang diajarkan oleh Kiai Imam Kasan Besari. Dengan
kecerdasan di atas rata-rata, Burham tidak sulit mengejar ketinggalannya.
Apalagi ia belajar dengan semangat dengan niat membalas dendam kepada sejarah
yang pernah menistakannya.
Dalam manuskrip lain
yang disusun oleh Padmawarsito, wahyu kepujanggaan dihubungkan dengan makan
ikan lele. Diceritakan bahwa sewaktu Bagus Burham melarikan diri dari pesantren
Tegalsari, ia bermalam di rumah seorang guru mengaji di desa Poncol. Yakni di
rumah Ki Mukitab. Namun ikan lele yang ajaib itu juga masuk dalam periuk nasi
Burham ketika makan. Dengan segera ia mampu menguasai segala ajaran yang
diberikan. Beberapa waktu kemudian ia diangkat sebagai badal, wakil Kiai Kasan
Besari untuk berdakwah dan berceramah di luar pesantren.[22]
Mengenai kecerdasan Bagus
Burham sangat dikenal dimasyarakat, apabila menyampaikan khotbah atau ceramah suaranya
lantang dan penjelasannya mudah diterima. Dalam kurun waktu tersebut Burham
banyak keliling ke berbagai pelosok untuk berdakwah, menyebarkan agama. Dan
dalam hal inilah ia banyak mendapat inspirasi sebagai cerita, dari keindahan
alam serta keanekaragaman kondisi masyarakat yang dialami. Masa-masa ini
nampaknya memberikan dasar awal perhatiannya kepada nasib dan kesengsaraan
rakyat kecil.
Waktu itu rakyat dapat
dikatakan dalam kondisi puncak kesengsaraan. Dekade pertama abad itu, sejarah
menyaksikan suatu pemerintahan tangan besi Gubenur Jenderal VOC, Herman Willem
Daendels (1808-1811). Meskipun hanya tiga tahun, masa pemerintahan Daendels
telah mengguratkan luka dalam di tanah Nusantara. Ia menurunkan status para
raja lokal, dari sekutu yang sejajar dengan pemerintah VOC menjadi pegawai
biasa.[23]
Tentu saja perlakuan ini tidak diterima oleh para penguasa lokal, dan Daendels
pun mengambil tindakan tanpa ampun.
Setiap penguasa lokal
yang membangkang diserang dan dihancurkan kerajaannya. Hal ini terjadi pada
kasus Kesultanan Banten yang diserang dan dihancurkan oleh VOC. Bukan itu saja,
perlakuan yang hamper sama terjadi di kesultanan Yogyakarta, seorang raja diturunkan
dari tahta dan diganti oleh raja yang ditunjuk Deandels sendiri, dalam
penggantian Sultan Hamengku Buwono I oleh Hamengku Buwono II di Yogyakrta.[24]
Sesudah selesai belajar
di pesantren Tegalsari, Bagus Burham pergi
mengembara dalam usaha memperluas ilmunya. Disamping
untuk memperluas ilmu, Bagus Burham juga mencoba mendiskusikan kepandaiannya di
berbagai tempat dengan berbagai guru yang kenamaan. Dalam pengembaraan untuk
memperluas ilmunya, Bagus Burham bahkan berjalan sampai menyeberang ke pulau Bali.[25]
Selain itu, sepulang
dari berguru di pesantren Tegalsari, Bagus Burham mulai diperkenalkan dan
memperdalam berbagai ilmu di kalangan keluarga istana Surkarta. Salah satu di
antaranya adalah Panembahan Buminto, salah seorang adik dari Paku Buwono IV
yang banyak memberikan pelajaran kepada Burham. Dari tokoh ini Burham mendapat
warisan berbagai ilmu spiritual yang ada di kalangan keluarga kerajaan. Sebuah
warisan tradisi yang sempat berkembang di tanah Jawa. Dari kakeknya, ia
mempelajari ilmu sastra dan olah bahasa, bahasa Jawa kuno dan Kawi, serta ilmu
sejarah.[26]
Dalam manuskrip yang
ditulis oleh Padmawarsito, diterangkan bahwa Pangeran Wijil dari Kadilangu juga
menjadi gurunya.[27]
Jadi secara tidak langsung, pembentukan jati diri Ranggawarsita dapat
dikategorikan dalam beberapa bentuk. Pertama, pendidikan dan pembentukan
kepribadian untuk mengatasi pubersitas. Hal ini dibuktikan dengan pendidikan
Kyai Kasan Besari, yang didasari oleh cinta kasih dan mengakibatkan Bagus
Burham memiliki jiwa halus, teguh dan berkemauan keras.
Kedua,
Pembentukan jiwa seni oleh kakeknya sendiri, Raden Tumenggung Sastronagoro,
seorang pujangga berpengetahuan luas. Di samping belajar agama Islam di
pesantren, pelajaran yang amat digemari dan ditekuni Ranggawarsita adalah
kepustakaan Jawa. Dengan bimbingan Yasadipura II dan mempelajarinya sendiri,
Ranggawarsita menekuni kesusastraan Jawa dan ilmu kejawen.[28]
Dalam hal pendidikan, RT.Sastranagara amat terkenal dengan gubahannya Sasana
Sunu.[29]
Ketiga,
Pembentukan rasa harga diri, kepercayaan diri dan keteguhan iman diperoleh dari
Gusti Pangeran Harya Buminata. Dari pangeran ini, diperoleh pula ilmu Jaya-kawijayan,
kesaktian dan kanuragan. Proses ini merupakan proses pendewasaan diri, agar
siap dalam terjun kemasyarakat, dan siap menghadapi segala macam percobaan dan
dinamika kehidupan.
Bagus Burham secara
terus-menerus mendapat pendidikan lahir batin yang sesuai dengan perkembangan
sifat-sifat kodratinya, bahkan ditambah dengan pengalamannya terjun mengembara
ketempat-tempat yang dapat menggembleng pribadinya. Seperti pengalaman ke
Ngadiluwih dan Ragajambi di tanah Bali. Di samping gemblengan orang-orang
tersebut di atas, terdapat pula bangsawan keraton yang juga memberi dorongan
kuat untuk meningkatkan kemampuannya, sehingga karir dan martabatnya semakin
meningkat.
Pada hari senin Pahing tanggal 28 Oktober
1819, dengan sengkalan atau candrasengkala[30]
yang berbunyi, amuji suci panditaning ratu, Bagus Burham ditetapkan
secara resmi sebagai abdi dalem (carik atau juru tulis) Kadipaten Anom
Keraton Kasultanan Surakarta dengan gelar nama Mas Ronggo Pujangga Anom, atau
lazimnya disebut dengan Ronggo Panjanganom. Ada yang menyebutnya bahwa nama
gelar dari raja itu Pujanganom yang berarti penulis muda, seperti ditulis oleh
G. Hupoyi dalam buku The Boyhood of Ranggawarsita.[31]
Pengangkatan Burham
sebagai pegawai juru tulis itu pada saat ia berusia sekitar 20 tahun. Bersamaan
dengan itu, Mas Ronggo Panjanganom melaksanakan pernikahan dengan Raden Ajeng
Gombak atau Ayu Gombak dan diambil anak angkat oleh Gusti panembahan Buminata.
Perkawinan dilaksanakan di Buminata pada 23 bulan besar tahun Jimawal 1749 atau
9 November 1821. Saat itu usia Bagus Burham 20 tahun.[32]
Setelah selapan (35
hari) perkawinan, keduanya berkunjung ke Kediri, dalam hal ini Ki Tanujoyo ikut
serta. Setelah berbakti kepada mertua, kemudian Bagus Burham mohon untuk
berguru ke Bali yang sebelumnya ke Surabaya. Demikian juga berguru kepada Kyai
Tunggulwulung di Ngadiluwih, Kyai Ajar Wirakanta di Raga jambi dan Kyai Ajar
Sidalaku di Tabanan-Bali. Dalam kesempatan berharga itu, beliau berhasil
membawa pulang beberapa catatan peringatan perjalanan dan peninggalan lama dari
Bali dan Kediri ke Surakarta.[33]
Sekembali dari berguru,
ia tinggal di Surakarta melaksanakan tugas sebagai abdi dalem keraton. Kemudian
ia dianugerahi pangkat Mantri Carik dengan gelar Mas Ngabehi Sarataka,
pada tahun 1822.[34]
Pada zaman itu suasana
politik mulai meninggi. Kebijakan-kebijakan Belanda terasa menggila.
Kesengsaraan rakyat semakin menjadi. Satu tahun setelah Burham menduduki
jabatan barunya, terjadi pergantian raja. Paku Buwono V wafat dan diganti oleh Paku Buwono VI yang nama aslinya Supardan,
dan bergelar Sinuhun Mbangun Tapa, karena sejak muda ia suka pergi berkelana
ke hutan dan gunung untuk melakukan tapa-brata.
Puncak ketegangan dan
kemelut politik di tanah Jawa adalah meletusnya Geger Diponegoro (1825-1830).
Pada waktu itu, para bangsawan dari kerajaan Yogyakarta di bawah Pangeran
Diponegoro, mengadakan perlawanan menentang pemerintah Belanda, dengan berbagai
kebijakanya yang menyengsaraakan rakyat. Gerakan ini mendapat simpati dan
bantuan dari kalangan bangsawan, ulama dan rakyat.[35]
Pertempuran antara pasukan Belanda dan Diponegoro tidak hanya terjadi di Yogyakarta,
tetapi sampai ke Surakarta, karena secara personal anggota kedua kerajaan ini
masih sekeluarga.
Adapun jenjang-jenjang
kepangkatan (jabatan) yang pernah dilalui Ranggawarsita adalah: carik (juru
tulis) Kadipaten Anom, dengan gelar Mas Ronggo Pajanganom (1819), lalu dinaikan
menjadi mantri carik dengan gelar Mas Ngabehi Sarataka pada tahun 1749 (tahun
Jawa) dengan sengkalan yang berbunyi Dadi Tinatu Pandhitaning Ratu atau
1822 Masehi.[36]
Kemudian menggantikan jabatan ayahnya (Ranggawarsita II) sebagai Kliwon carik
dengan gelar Raden Ngabehi Ranggawarsita pada tahun 1830.
Sesudah kakeknya
Yasadipura II wafat, Ranggawarsita dinobatkan sebagai pujangga istana Surakata (1845)
oleh Paku Buwono VII dan begelar Kliwon Kadipaten Anom.[37] Namun
jenjang kepangkatannya tetap sebagai Kliwon carik, suatu jabatan istana
setingkat di bawah pangkat Tumenggung.
Dalam kesempatan itu,
banyak sekali siswa-siswanya yang terdiri orang-orang asing, seperti C.F
Winter, Jonas Portier, CH Dowing, Jansen dan lainnya. Dengan CF.Winter,
Ranggawarsita membantu menyusun kitab Paramasastra Jawa dengan judul Paramasastra
Jawi.[38]
Dengan Jonas Portier ia membantu penerbitan majalah Bramartani[39],
dalam kedudukannya sebagai redaktur Majalah ini pada jaman Paku Buwono VIII
dirubah namanya menjadi Juru Martani. Namun pada jaman Paku Buwono IX
kembali dirubah menjadi Bramartani.
Di bawah pemerintahan Paku Buwono
IX ini kehidupan Ranggawarsita, terutama karir politiknya, mengalami hambatan.
Banyak catatan yang mengatakan bahwa hubungannya dengan raja yang bertahta
kurang serasi. Hal ini dapat dilihat dari kejadian yang tak mungkin terhapus
dalam ingatan Ranggawarsita, peristiwa ketika wajahnya dilempar kotak kecil
oleh Baginda raja Paku Buwono IX.[40]
Maka pada kepemimpinan Paku Buwono IX ini Ranggawarsita wafat tepatnya pada
tahun 1873. Beliau dimakamkan di Desa Trucuk Kecamatan Palar Kabupaten Klaten.
C.
Karya Sastra dan Tipologi
Penulisan R.Ng.Ranggawarsita
1.
Karya Sastra R.Ng.Ranggawarsita
Ranggawarsita adalah pujangga penutup. Setelah
kematiannya tidak ada lagi pujangga, yang ada hanyalah penulis, itulah pendapat
yang lazim di dalam tradisi kepustakaan Jawa.
Pujangga memang sebuah sebutan yang mengandung kebebasan karena selain
kemampuan menggubah karya sastra, seorang pujangga dituntut untuk mempunyai
kemampuan penalaran dan intelektualitas yang tinggi. Selain itu, ia juga harus
peka untuk menangkap dan memahami tanda-tanda zaman atau nawungkrida, dan
Ranggawarsitalah yang memenuhi syarat menyandang sebutan pujangga besar.[41]
Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh C. F.
Winter bahwa “Ranggawarsita adalah gurunya yang tidak tergantikan.
Karya-karyanya, baik prosa maupun puisi mengandung bobot literer yang tinggi.
Sebagian besar dari karya-karyanya merupakan dokumen budaya yang sangat
penting”.[42]
Konteks penulisan karya sastra R.Ng.Ranggawarsita
secara umum adalah dilatarbelakangi oleh kondisi keberagamaan masyarakat Jawa
yang sinkretis dan penderitaan rakyat akibat kolonialisme, di mana
posisi kerajaan Surakarta sebagai simbol kedaulatan sosial selalu dirongrong
oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda.[43]
Sebagai Pujangga keraton Surakarta yang terakhir,
R.Ng.Ranggawarsita meninggalkan karya-karya yang monumental. Karya-karya R.Ng.Ranggawarsita
tersebut ditulis dalam bentuk prosa, puisi dan prosa lirik. Adapun bidang yang
ditulis terdiri atas sejarah, pendidikan, seni, jangka, biografi,
politik, filsafat dan ilmu pengetahuan. Karya-karya tersebut banyak sekali
jumlahnya dan dapat dikategorikan menjadi tujuh Kategori.
a.
Karya yang ditulis sendiri meliputi
: Serat Wirid Hidayat Jati, Babad Itih, Serat Pustakaraja Purwa, Serat
Mardawa Lagu, Serat Paramasastra, Serat Pawukon, Rerepen Sekar Trengahan,
Sejarah Pari Sawuli, Serat Iber-Iber, Uran-Iran Sekar Gambuh,
Widyapradana.
b.
Karya Ranggawarsita yang ditulis bersama
orang lain (C. F. Winter) meliputi: Kawi Javaansche Woordenboek, Serat
Saloka Akaliyan Paribasan, Serat Saridin, Serat Sidin.
c.
Karya orang lain yang pernah disalin
oleh Ranggawarsita yaitu: Serat Bratayuda, Serat Jayabaya dan Serat
Panitisastra.[44]
d.
Karya almarhum yang ditulis orang lain
adalah Serat Aji Darma, Ajinirmala, Aji Pamasa, Budayana, Cakrawati,
Cemporet, Darmasarana, Jakalodang, Jayengbaya, Kalatidha, Nyatnyanaparta,
Pambeganing Nata Binhatara, Panji Jayengtilam, Pamoring Kawula Gusti,
Paramayoga, Partakaraja, Pawarsakan, Purwangkara, Purwangyana, Purwasana, Sari
Wahana, Sidawakya, Wahana Sampatra, Wedharaga, Wedhasatya, Wirid Sopanalaya,
Witaradya, Yudhayana, Kridamaya, Wirid
Maklumat Jati.[45]
e.
Karya orang lain yang diakukan sebagai
karya Ranggawarsita yaitu Serat Kalatidha Piningit.
f.
Karya Rangggawarsita yang digubah
bentuknya oleh orang lain atas perintah Sri Mangkunagara IV, Serat Pustakaraja
karya R.Ng.Ranggawarsita itu digubah kembali menjadi empat jenis Pakem
Pustakaraja. Pakem tersebut disimpan di Museum Reksapustaka Mangkunegaran.
Adapun keempat pakem itu sebagai berikut:
1)
Pakem Pustakaraja Purwa, untuk
pedalangan wayang purwa.
2)
Pakem Pustakaraja Madya, untuk
pedalangan wayang madya.
3)
Pakem Pustakaraja Antara, untuk
pedalangan wayang gedhog.
4)
Pakem Pustakaraja Wasana, untuk
pedalangan wayang klitik.
g.
Karya Ranggawarsita yang diubah bentuknya
oleh orang lain yaitu: Jaman Cacat, Serat Paramayoga.[46]
Menurut Yasasusastra
di antara karya-karya Ranggawarsita yang paling terkenal sampai sekarang adalah:
a.
Kalatidha
yang terkenal dengan gambaran “zaman edan”.
b.
Jaka Lodhang
yang berisi ramalan akan datangnya zaman baik.
c.
Cemporet
berisi cerita roman yang bahasanya sangat indah.
d.
Pustaka Purwa
memuat cerita wayang Mahabarata.
e.
Sabdatama
berisi ramalan tentang sifat zaman makmur dan tingkah laku manusia yang tamak
dan loba.
f.
Sabdajati
memuat ramalan zaman hingga sang pujangga meminta diri untuk memenuhi panggilan
Tuhan (wafat).
2.
Tipologi Tulisan R.Ng.Ranggawarsita
Beberapa karya R.Ng.Ranggawarsita telah menunjukkan
hasil pendidikan yang ditempuhnya ini dengan ketajaman nalar dan wawasannya.
Hal ini ditunjukkan oleh karakteristik beberapa karyanya yang merupakan warisan
sastra Jawa, dalam bukunya Kamajaya yang berjudul Pujangga Ranggawarsita,
karakteristik secara umum itu disebutkan sebagai berikut:
a.
“Purwakanthi”, akhiran kata atau
kalimat bersambung dengan awalan kata atau kalimat berikutnya yang menjalin
irama mengasyikkan. Misalnya: korup kareping ngaurip, riptane si Jayengbaya (Serat
Jayengbaya).
b.
“Sandiasma”, nama pengarang yang
dirahasiakan dalam berbagai sisipan dalam kalimat atau “gatra”
(bagian/bait) atau dalam pada (pupuh bait. Sang Pujangga adalah perintis
gaya seperti ini. Contoh: borong
angga suwarga mesi martaya (Serat Kalatiha).
c.
“Sengkalan” atau “Candrasangkala”,
yaitu angka tahun (Jawa) yang dijelmakan dalam kalimat-kalimat yang sesuai
dengan soal atau tujuan yang ditulis dalam karangannya. Contoh: nir sad esthining urip = 1860
tahun Jawa (Serat Jaka Lodhang), nir = 0 sad = 6 esthining = 8 urip = 1,
dibaca dari belakang 1860 tahun Jawa.
d.
“Gancaran” atau “Jarwa”,
yaitu prosa yang susunannya indah, bergairah dan mengasyikkan. Contoh : Wahyu iku sayekti tuniba marang
wong kang gawe ayu, akeh wong keturunan pulung dene sok atetulung; singa taberi
anglakoni kangelan, bakal antuk pahalan. (Serat Pustakaraja Purwa).
e.
Menjalin nasehat bermutu dalam
uraiannya. Contoh: “Sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti” (angkara
murka menguasai dunia, namun hancur lebur oleh panembah dengan taqwa kepada
Tuhan).[48]
3.
Posisi Serat Wirid Hidayat Jati dalam
Sastra Jawa
Keberadaan R.Ng.Ranggawarsita dalam kasusastraan
Jawa merupakan sosok yang tetap dikenang bayak orang. Berbagai kelebihannya,
khususnya dalam menulis sastra Jawa sudah tidak dapat dipungkiri lagi. Beberapa
karyanya terus dibaca dan dikaji oleh banyak orang untuk keperluan berbagai
hal. R.Ng.Ranggawarsita hidup dan berkarya di dalam suatu jaman di mana minat
terhadap kesusastraan Jawa sejak masa awal penyebaran Islam bangkit secara
meluas.
Menurut Simuh, kebangkitan rohani dan kesusastraan
Jawa baru ini bermula semenjak pusat kerajaan Mataram dipindahkan dari
Kartasura ke Surakarta (1757) sampai wafatnya R.Ng.Ranggawarsita (1873).[49] Beberapa
Pujangga seperti Yasadipura, Sindusastra, Mangkunegara IV hidup sejaman dengan R.Ng.Ranggawarsita,
yaitu jaman Surakarta awal (1750 –1850).[50] Hal
ini dapat dilihat dari beberapa cerita sekitar hubungan R.Ng. Ranggawarsita
dengan Mangkunegara IV dan Yasadipura II, dan di dalam karya sastra mereka pun
tampak gagasan, pengalaman dan penghayatan yang sama.
Menurut Abdullah Ciptoprawiro dalam bukunya Filsafat
Jawa dikatakan bahwa “beberapa karya R.Ng.Ranggawarsita kelihatan adanya jalur
yang menghubungkan karyanya dengan kesusastraan jaman dahulu, seperti Serat
Wirid Hidayat Jati ditemukan wawasan yang hidup sejak penyebaran agama
Islam oleh para Walisanga dari jaman Demak”,[51] Hal
ini bisa dilihat dari isi ajaran Serat Wirid Hidayat Jati banyak
dipengaruhi oleh karya sastra orang-orang sufi seperti dari bangsa arab
(Hallaj, Bayazid), Sumatra (Abdullah Rauf pendiri Tarikat Satariyah), Jawa (Abdullah
Muhyi dan Walisanga).
Dalam perjalanan sejarah penyebaran Islam di Jawa,
ada dua jenis kepustakaan atau kesusastraan, yaitu Kepustakaan Islam Santri dan
Kepustakaan Islam Kejawen. Kepustakaan Islam Santri yaitu kepustakaan yang
sangat terikat dengan syariat (agama) sedang Kepustakaan Islam Kejawen ialah
salah satu Kepustakaan Jawa yang memuat perpaduan antara tradisi Jawa dengan
unsur-unsur ajaran Islam.
Unsur-unsur ajaran Islam yang ada dalam Kepustakaan
Islam Kejawen memuat aspek ajaran tasawuf yang terdapat dalam perbendaharaan
kitab-kitab tasawuf. Adapun ciri
Kepustakaan Islam Kejawen yaitu mempergunakan bahasa Jawa dan sedikit mengungkapkan
aspek syariat namun ungkapannya banyak mengandung aspek tasawuf falsafati
Islam. Bentuk Kepustakaan ini termasuk dalam lingkungan Kepustakaan Islam
karena ditulis oleh dan untuk
orang-orang yang telah menerima Islam sebagai agama mereka.[52]
Menurut Simuh, nama yang sering dipergunakan untuk
menyebut Kepustakaan Islam Kejawen ialah Wirid dan Suluk. Wirid
dan Suluk tersebut isinya
bekaitan dengan ajaran tasawuf yang sering disebut ajaran mistik Islam. Hal ini
disebabkan kedua nama itu memang bersumber dari ajaran tasawuf.[53] Sastra
Jawa ini, bahasanya penuh dengan simbolisme dan kiasan karena karya mistik
penuh simbolisme.
Pada jaman itu ajaran-ajaran kejawen jarang
disampaikan secara apa adanya. Hal ini dimungkinkan karena orang Jawa masa itu
belum terbiasa berfikir abstrak, maka segala ide diungkapkan dalam simbol yang bersifat
abstrak agak jarang.[54]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa posisi Serat
Wirid Hidayat Jati termasuk dalam Kepustakaan Islam Kejawen karena serat
ini memuat perpaduan tradisi Jawa dengan unsur-unsur ajaran Islam dan dalam
penulisannya pun menggunakan bahasa Jawa.
Isi ajaran dalam Serat Wirid Hidayat Jati terdapat unsur-unsur ajaran
Islam yang dipengaruhi oleh ajaran tasawuf. Karya ini digubah oleh R.Ng.Ranggawarsita
pada jaman Surakarta Awal.
Serat Wirid Hidayat Jati adalah
kitab pelajaran yang dipakai oleh para pembesar di kraton Surakarta dan
Yogyakarta. Selain itu Serat ini disusun dalam bentuk Jarwa atau Prosa,
yang mana isi kandungannya cukup padat dan lengkap. Hal tersebut merangsang
penyusun mengadakan pembahasan lebih lanjut. Pembahasan ini terutama dipusatkan
pada nilai pendidikan dan tauhidnya.
[10] lihat Anjar Any dalam Rahasia Ramalan Jayabaya
Ranggawrsita dan Sabdo Palon Semarang: Aneka Ilmu, 1980. 11.
[22] Lihat Manuskrip Susunan Padmawarsito,Yogyakarta:
Pustaka Santri 1954. 21
[25] Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi
Ranggawarsita. Jakarta: UI-Press, 1988. 39. Lihat juga G.W.J. Drewes, “Ranggawarsita,
The Raja Madya and yhe Wyang Madya”, Oriens Extremus (th. XXI, Desember
1947), 205.
[29] Dalam Serat Sasana Sunu atau Sanasunu
itu Sastranegara yang berkedudukan sebagai seorang bapak memberikan
benteng-benteng akhlak kepada anak-anaknya dalam menghadapi percepatan zaman,
yang kadang banyak orang terlenakan oleh jabatan, pangkat, dan harta sehingga
jatuh rela menjauh dari tatanan agama dan nilai luhur Jawa. Jika disimak secara
teliti bisa saja Serat Sasanasunu mirip dengan kandungan pemikiran Abu
Hamid Muhammad bin Muhammad ath-Thusi as-Syafi’I atau lebih dekenal dengan nama
Imam Ghazali atau Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya ‘Ulumuddin.
[30]Candrasengkalan adalah Rumusan tahun dengan kata-kata, yang
setiap kata melambangkan angka, dibaca dari depan dan ditafsirkan atau diterjemahkan dari
belakang; kronongram Jawa yang memakai sistem perhitungan bulan.
[32] Ibid.
[34] Ibid, 157.
[42] Ibid. 1
[43] Andjar Any, Raden Ngabehi Ronggowarsito Apa Yang Terjadi, Yogyakarta
: Yayasan Bintang Budaya 2001.119
[45] Dapat diakses di Bidang
Permuseuman dan Kepurbakalan Kanwil Depdikbud Jateng.
[46]
Ibid.
[49] Simuh,
Sufisme Jawa : Tranformasi Tasawuf Islam ke Mistik Islam, Yogyakarta :
Bentang Budaya, 1996. 151
[52] Simuh, Sufisme Jawa :
Tranformasi Tasawuf Islam ke Mistik Islam, Yogyakarta : Bentang Budaya,
1996. 2
[53] Ibid., hlm. 3
Komentar
Posting Komentar